Senin, 16 September 2013

Liga Indonesia musim 1998/1999

Liga Indonesia 1998-99 adalah musim pertama Liga Indonesia setelah kerusuhan Mei 1998 yang sebelumnya berakibat gagalnya Liga Indonesia 1997-98. Musim 1997-98 terpaksa dihentikan lantaran kerusuhan di seantero negeri. Maka Liga Indonesia 1998-99 dan finalnya pun memiliki cerita tersendiri. Ingin tahu?

Setelah Liga Indonesia musim kompetisi 1997-98 gagal selesai, ternyata muncul ancaman bahwa Liga Indonesia 1998-99 akan gagal diadakan. Hal itu dikarenakan PSSI kesulitan mencari sponsor untuk mendanai Liga Indonesia 1998-99. Selain itu, pengelola tim-tim peserta liga berharap PSSI dapat menjamin bahwa musim kompetisi 1998-99 dapat berjalan lancar sampai selesai.

Ini adalah hal yang lumrah, mengingat klub-klub peserta LI 1997-98 mengalami kerugian besar akibat tidak selesainya kompetisi. Lebih jauh, agenda politik yang padat (Sidang Umum MPR pada November 1998 dan Pemilu 1999) menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya kerusuhan lebih lanjut yang dapat sekali lagi menggagalkan selesainya kompetisi.

Di tengah peliknya situasi yang harus dihadapi PSSI, Azwar Anas yang menjabat ketua umum justru mengundurkan diri lantaran skandal gol bunuh diri Mursyid Effendi pada Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 1998. Agum Gumelar secara aklamasi akhirnya didaulat menjadi ketua umum yang baru. Agum pun dihadapkan dengan tugas berat untuk menjalankan dan menyelesaikan Liga Indonesia 1998-99.

    “Timnas yang tangguh hanya lahir dari kompetisi yang tangguh. Jadi, bagaimana pun caranya kompetisi harus jalan,” kata Agum ketika itu.

Meskipun PSSI belum berhasil menggaet sponsor utama LI 1998-99, Agum bersikeras agar liga tetap berjalan. “Timnas yang tangguh hanya lahir dari kompetisi yang tangguh. Jadi, bagaimana pun caranya kompetisi harus jalan,” kata Agum ketika itu. Memang pada akhirnya Liga Indonesia 1998-99 berjalan tanpa sponsor utama, tetapi PSSI tetap memberikan subsidi sebesar 100 juta rupiah per klub per musim, yang berasal dari sumber dana yang tidak disebutkan pada saat itu.

Setelah Menhankam Wiranto berjanji akan melancarkan penyelenggaraan kompetisi, akhirnya Liga Indonesia V/1998-99 digulirkan pada tanggal 1 November 1998 di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya. Pada sambutan untuk membuka LI V/1998-99 secara resmi, Agum mengatakan, “Dalam situasi prihatin bangsa sekarang ini, marilah kita jadikan kompetisi sepak bola sebagai momentum kebangkitan”. Pada laga pembuka LI 1998-99 di tempat tersebut, tuan rumah Persebaya Surabaya berhasil mengalahkan Barito Putra dengan skor 2-0.

Akan tetapi, meskipun liga sudah dapat bergulir, masalah belum selesai. Pascakerusuhan Mei 1998, fenomena ‘bonek’ (lebih tepatnya hooliganisme) mulai menyebar ke seluruh negeri. Kini bukan hanya para bonek (pendukung Persebaya) yang sering berulah di dalam dan luar lapangan, tetapi juga hampir setiap kelompok suporter klub Liga Indonesia lainnya.

Para suporter tersebut acapkali merusak stadion ataupun fasilitas publik lainnya yang berada di sekitar area stadion. Pihak keamanan pun kerap dibuat tak berdaya menghadapi amukan suporter yang jumlahnya mencapai ribuan.  Puncaknya, di Jakarta, delapan pendukung PSIS Semarang tewas di Lenteng Agung akibat tersambar listrik, dan satu lainnya tewas di Jatinegara.

Sepanjang babak 10 Besar dan semifinal memang terjadi banyak kerusuhan yang ditimbulkan suporter yang membuat aparat keamanan kewalahan. Mereka banyak merusak fasilitas umum di Jakarta selama babak 10 Besar dan semifinal, serta tak jarang memeras bahkan melukai warga sekitar yang mereka jumpai.

Final Hercules

Sebagai buntut dari kerusuhan yang merajalela di Jakarta sepanjang babak 10 Besar dan semifinal, Mayjen (Pol) Noegroho Djajoesman selaku Kapolda Metro Jaya pada saat itu akhirnya menolak memberi izin penyelenggaraan laga final Liga Indonesia 1998-99 yang sedianya dilaksanakan di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Padahal, Liga Indonesia 1998-99 tinggal menyisakan satu laga, yakni laga final yang akan mempertandingkan Persebaya Surabaya dan PSIS Semarang.

Dengan tingginya potensi kerusuhan pada final nanti, dan fakta bahwa kedua klub finalis berbasis di pulau Jawa, PSSI hanya punya satu pilihan: Laga final harus digelar di luar pulau Jawa! Untuk itu, Agum menelepon Erenst Mangindaan, yang saat itu menjabat gubernur Sulawesi Utara, untuk bernegosiasi agar laga final dapat dihelat di Stadion Klabat, Manado. Mangindaan pun menyanggupinya, dan akhirnya laga final dapat dilaksanakan.

Walaupun demikian, masih ada satu masalah yang harus dihadapi menjelang laga final: keterbatasan waktu. Setelah laga semifinal selesai tanggal 1 April 1999 dan polemik izin laga final, waktu yang tersisa tidak banyak, karena laga final akan digelar pada tanggal 9 April 1999, sedangkan para perangkat pertandingan masih berada di Jawa.

Dalam situasi mendesak, akhirnya alternatif terakhir pun diambil. Sebuah pesawat Hercules, yang biasanya digunakan untuk mengangkut dan menerjunkan personil militer atau bantuan untuk korban bencana alam, digunakan untuk menjemput pemain, pelatih dan ofisial PSIS maupun Persebaya, serta seluruh perangkat pertandingan final. Kemudian pesawat tersebut diterbangkan ke Manado, tempat laga final diadakan.

Mungkin dapat terbayangkan betapa tidak nyamannya mereka dalam pesawat tersebut, mengingat pesawat angkut tersebut tidak memiliki fasilitas seperti pesawat penumpang komersial. Akan tetapi tidak ada pilihan lain, karena sejak awal seluruh tim peserta dan perangkat penyelenggara liga bertekad the show must go on, Liga Indonesia 1998-99 harus bergulir sampai selesai, apa pun yang terjadi.

Pada 9 April 1999, final Liga Indonesia 1998-99 akhirnya digelar. PSIS Semarang yang dianggap underdog menghadapi Persebaya Surabaya yang sejak awal kompetisi merupakan salah satu favorit juara. Meskipun final diadakan di luar pulau Jawa, jauh dari basis pendukung kedua kubu dan diadakan secara ‘darurat’, laga ini dipadati oleh 30.000 orang yang datang ke Klabat hari itu.

Laga final tersebut berlangsung sangat alot, dan sampai menit ke-85 belum juga ada gol tercipta. Sampai pada akhirnya, pada menit 89, Tugiyo, yang berjuluk “Maradona dari Purwodadi” berhasil mencetak gol untuk PSIS Semarang, 1-0. Skor ini bertahan hingga peluit panjang dibunyikan, dan tim asuhan Edy Paryono ini akhirnya berhasil menjungkalkan prediksi para pengamat dan menjadi juara Liga Indonesia 1998-99.

Final akhirnya selesai, dan para pemain, pelatih dan ofisial kedua kubu serta perangkat pertandingan diterbangkan kembali ke pulau Jawa, lagi-lagi dengan pesawat Hercules. Dalam penerbangannya, pesawat ini mendarat sebentar di Surabaya, menurunkan para pemain, pelatih dan ofisial Persebaya Surabaya yang harus puas menjadi runner-up.

Kemudian, sebelum pesawat Hercules ini kembali ke Jakarta, ia berhenti sekali lagi di Semarang, menurunkan para pemain, pelatih dan ofisial PSIS Semarang selaku para juara yang kedatangannya sudah dinanti-nanti para pendukungnya di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Mereka pun diarak keliling kota beserta piala yang baru saja mereka raih.

Demikianlah cerita tentang Liga Indonesia 1998-99, sebuah musim kompetisi yang pada awalnya diragukan dapat berjalan, namun dengan tekad yang kuat demi menyelamatkan sepakbola Indonesia, akhirnya dapat berjalan sampai selesai meskipun permasalahan selalu menerpa sejak sebelum dimulai hingga menjelang final. PSSI berjuang keras agar Liga Indonesia 1998-99 dapat bergulir meskipun tanpa sponsor dan tanpa izin keamanan laga final di Senayan. Semoga semangat ini muncul kembali saat ini, di tengah kisruhnya PSSI, sehingga sepakbola Indonesia yang tengah kacau ini bisa bangkit kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar